Ribuan Peserta Meriahkan Tapa Bisu Mubeng Beteng Yogyakarta pada Malam 1 Suro

Ribuan warga itu mulai berjalan dari Bangsal Ponconiti, Kompleks Kamandungan Lor (Keben) Keraton, dan bergerak berlawanan arah jarum jam sebagai simbol laku prihatin, mengelilingi benteng-benteng yang mengitari tiap sudut Keraton Yogyakarta tepat tengah malam.

JeteOfficialShop

majalahkoran.com – Tradisi Tapa Bisu Mubeng Beteng atau berjalan mengelilingi benteng Keraton tanpa bersuara memperingati malam 1 Muharram sekaligus tahun baru Jawa atau 1 Suro
diikuti ribuan warga di Yogyakarta, Kamis malam, 26 Juni 2025. Tradisi yang digelar paguyuban abdi dalem Keraton ini dimaknai sebagai laku spiritual, sikap prihatin dalam hening, dan kesederhanaan, serta ajakan merefleksikan diri, berdoa memohon keselamatan.

Ribuan warga itu mulai berjalan dari Bangsal Ponconiti, Kompleks Kamandungan Lor (Keben) Keraton, dan bergerak berlawanan arah jarum jam sebagai simbol laku prihatin, mengelilingi benteng-benteng yang mengitari tiap sudut Keraton Yogyakarta tepat tengah malam.

WankeiOfficial

Abdi dalem Keraton Yogyakarta Kanjeng Mas Tumenggung (KMT) Projosuwasono mengatakan bahwa tradisi ini merupakan wujud doa sekaligus syukur. “Makna Mubeng Beteng ini intinya wujud prihatin, mengajak banyak berdoa untuk masa yang akan datang sekaligus mensyukuri apa yang sudah dilalui satu tahun ke belakang,” ujar dia, Kamis.

Selama prosesi itu para peserta diminta menjaga keheningan bersama, tak bermain gawai maupun berbicara satu sama lain.

Pembacaan Macapat

Beberapa jam sebelum prosesi mengelilingi benteng Keraton itu digelar, para abdi dalem dan warga lebih dulu berkumpul memadati Bangsal Ponconiti atau Keben Keraton. Mereka bersama-sama mendengarkan pembacaan macapat atau semacam puisi tradisional dalam tradisi Jawa, yang dikidungkan abdi dalem selepas Isya. Baru kemudian menjelang tengah malam, aksi persiapan jalan kaki Mubeng Benteng mulai dilakukan, persisnya saat sudah terdengar 12 kali lonceng Keraton.

“Di masa lalu tidak ada pembacaan macapat ini, namun untuk menunggu waktu Mubeng Beteng yang baru dimulai jam 12 malam itu kan panjang, sehingga diiisi dengan pembacaan macapat
namun syairnya doa-doa,” ujar Projosuwasono.

Macapatan itu berisi kidung seperti surat Rumeksa Ing Wengi hingga surat Al-Fatihah. Prosesi macapatan ini sendiri berlangsung hingga sekitar pukul 22.30 WIB, kemudian dilanjut prosesi pelepasan oleh Putra Dalem atau utusan dari Raja Keraton Yogyakarta.

Rute Mubeng Beteng

Saat mulai berjalan kaki, massa memgambil rute dari Bangsal Ponconiti bergerak melewati Alun-alun Utara hingga Titik Nol Kilometer kemudian ke arah barat. Para peserta itu kemudian menuju Beteng Lor Kulon lalu ke selatan melintasi Beteng Kidul Kulon kemudian ke timur hingga pojok Beteng Kidul Wetan. Perjalanan dilanjutkan ke utara sampai Pojok Beteng Lor Wetan.

Sebagian besar tidak menggunakan alas kaki seperti sandal untuk menghindari jika terselip ketika berjalan bersama-sama.
tradisi memperingati malam 1 Muharram 1447 Hijriyah kali ini tampak diikuti massa lebih besar.

Gelombang warga yang berjalan kaki mengikuti para abdi dalem Keraton Yogyakarta yang memimpin di depan dan membawa panji-panji bendera itu nyaris tak terputus dalam satu titik iring-iringan rute yang berlangsung lebih dari 10 menit.

Di tengah kerumunan massa yang berjalan membisu itu, tampak pula sejumlah gunungan seperti tradisi Keraton Yogyakarta menggelar peringatan Gerebeg atau Grebeg.

Aji Purwanto, 38, warga Semarang, Jawa Tengah, sengaja datang mengikuti prosesi Mubeng Beteng itu dengan sang istri. “Tadinya cuma mau liburan saja, setelah tahu ada acara Mubeng Beteng ini mau ikut sekalian mumpung masih di Yogya, sekalian merasakan langsung pengalamannya,” kata dia.

JeteOfficialShop

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *