Eskalasi konflik bersenjata antara Israel dan Iran telah memicu kekhawatiran global akan stabilitas ekonomi dunia. Dampak konflik ini mulai terasa di berbagai sektor, mulai dari melonjaknya harga komoditas energi, gejolak pasar keuangan, hingga ancaman perlambatan pertumbuhan ekonomi global.
Sebagai negara net importir minyak mentah dan terkoneksi dengan ekonomi dunia, Indonesia berada dalam posisi yang rentan terhadap berbagai dampak negatif ini. Wakil Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi, Mineral, dan Batubara Indonesia (Aspebindo) Fathul Nugroho mengatakan konflik di Timur Tengah selalu menjadi faktor penentu utama harga minyak global.
Berdasarkan data Refinitiv, harga minyak Brent dan WTI pada pertengahan Juni 2025 masing-masing melonjak 10,74 persen dan 11,08 persen.”Dalam sepekan terakhir, harga minyak Brent dan WTI telah melonjak lebih dari 10 persen. Harga kini bergerak mendekati level 90 dolar AS per barel, padahal asumsi harga minyak dalam APBN 2025 kita hanya 82 dolar AS per barel,” ujar Fathul, Selasa (17/6/2025).
Kondisi ini, sambungnya, menjadi masalah serius bagi Indonesia yang masih mengimpor sekitar 813 ribu barel minyak mentah dan produk BBM per hari. Pasalnya, menurut Fathul, setiap kenaikan 1 dolar AS pada harga minyak ICP (Indonesian Crude Price), beban subsidi dan kompensasi energi diperkirakan bertambah Rp 1,5 triliun per tahun. “Jika harga terus naik dan bertahan di atas asumsi APBN, defisit anggaran kita bisa membengkak. Ini alarm bagi kita untuk serius mengejar swasembada energi,” tegas Fathul.
Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu, Febrio Kacaribu, juga memberikan perhatian khusus terhadap masalah ini. Meski demikian, ia mengungkapkan bahwa realisasi harga ICP per 13 Juni masih di angka 70,05 dolar AS per barel, di bawah asumsi APBN yang sebesar 82 dolar AS per barel.Untuk sementara, kondisi ini posisi ICP yang masih berada di bawah asumsi makro APBN memberi ruang fiskal yang cuku untuk bergerak. Namun, jika ketidakstabilan geopolitik masih terjadi dan tak bisa diredam, APBN terancam bekerja lebih keras untuk menggelontorkan subsidi.
“Tidak hanya karena ICP-nya tapi juga kursnya yang ditunjukkan Pak Wamen Suahasil juga terus bertambah,” tuturnya dalam konferensi pers APBN KiTA, Selasa (17/6/2025). “Tentunya juga akan ada outlook sampai akhir tahun,” imbuh Febrio.
Ancaman Stagflasi
Sementara itu, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat memperingatkan potensi stagflasi atau situasi di mana inflasi tinggi terjadi bersamaan dengan pertumbuhan ekonomi yang stagnan.
Hal ini dapat dipicu oleh pembatasan perdagangan di selat Hormuz, jalur di mana pasokan minyak dunia didistribusikan, imbas konflik yang meningkat di kawasan tersebut. Apalagi Iran adalah adalah salah satu negara yang mengontrol perdagangan di selat pendek itu. “Selat Hormuz adalah jalur vital bagi 20 persen pasokan minyak dunia. Jika konflik menyebabkan gangguan di wilayah ini, harga minyak bisa melonjak di atas 100 dolar AS per barel,” jelas Achmad dalam keterangan tertulisnya, Selasa (17/6/2025).
Kenaikan harga energi dimaksud tentu akan berimbas pada seluruh rantai produksi. Sebab, biaya transportasi dan produksi akan naik, mendorong kenaikan harga barang secara umum. Di saat yang sama, ketidakpastian global akan menekan pertumbuhan ekonomi. “Kita mungkin menghadapi situasi di mana harga-harga naik tetapi pertumbuhan ekonomi justru melambat. Inilah yang disebut stagflasi, dan sangat berbahaya bagi negara berkembang seperti Indonesia,” tambah Achmad.
Kekhawatiran atas gejolak geopolitik ini juga telah memicu turbulensi di pasar keuangan global. Pada 13 Juni 2025, ketika Israel memulai serangan ke berbagai lokasi di Iran, indeks saham utama dunia mengalami penurunan tajam. Indeks Dow Jones Industrial Average, misalnya, turun 1,3 persen (500 poin), sedangkan indeks S&P 500 turun 1 persen, dan Nasdaq Composite anjlok 1,1 persen.
Saham-saham teknologi dan pariwisata menjadi sektor yang mengalami tekanan paling dalam. Saham maskapai penerbangan seperti Delta dan United anjlok 4-5 persen. Menurut Achmad, penurunan harga saham-saham dunia ini mencerminkan kekhawatiran akan penurunan mobilitas global. Sebaliknya, emas sebagai aset safe haven naik 1,5 persen, sementara saham perusahaan energi dan pertahanan mengalami penguatan.
“Pasar bereaksi sangat negatif terhadap eskalasi konflik ini. Indeks VIX yang mengukur ketakutan investor melonjak 13 persen, menunjukkan tingkat ketidakpastian yang sangat tinggi,” ujar Achmad. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, kekhawatiran akan dampak konflik Israel dan Iran tak terbatas pada harga komoditas dan nilai tukar, melainkan juga kebijakan suku bunga negara maju dan arus modal asing ke pasar negara berkembang (emerging market).
Terlebih, kondisi perekonomian global juga masih sangat volatil dan berdampak pada industri manufaktur. Hal ini tercermin dari Purchasing Managers Index (PMI) Manufaktur global telah turun ke level 49,6. Indonesia sendiri mencatat PMI 47,4, lebih rendah dari rata-rata global. Meski demikian, menurutnya hampir 71 persen negara yang disurvei mengalami kontraksi di sektor manufaktur. Hal ini juga akan berdampak pada permintaan ekspor dari Indonesia.
“Ini adalah dampak yang kita lihat dalam geopolitik security yang makin fragile, yang semakin rapuh dan rentan yang menyebabkan implikasi kepada kegiatan ekonomi, ekspor, impor, manufaktur dan juga dari sisi capital flow yang berdampak kepada seluruh dunia,” ucapnya. Lebih jauh, tekanan geopolitik juga mengancam pertumbuhan ekonomi dunia. IMF telah merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi global untuk 2025 menjadi hanya 1,7 persen, turun dari 3,8 persen di tahun sebelumnya. Untuk Indonesia, proyeksi pertumbuhan dikoreksi dari 5,1 persen menjadi 4,7 persen. “Semua negara mengalami koreksi pertumbuhan. Amerika turun ke 1,4 persen, Eropa hanya 0,7 persen, bahkan India yang biasanya tumbuh tinggi juga dikoreksi ke 6,3 persen,” papar Sri Mulyani.