majalahkoran.com – Jakarta Konflik antara Israel dan Iran kembali memanas dengan skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pada Jumat, 13 Juni 2025, Israel melancarkan serangan udara besar-besaran ke Iran, menargetkan sekitar 100 lokasi strategis termasuk fasilitas nuklir, pabrik rudal balistik, serta posisi para pejabat tinggi militer. Sebanyak 200 jet tempur dikerahkan dalam serangan tersebut yang turut menewaskan salah satu pemimpin militer Iran.
Sebagai balasan, Iran meluncurkan lebih dari 100 drone bermuatan bahan peledak pada Jumat dini hari. Menurut analisis Center for Strategic and International Studies (CSIS), Iran disebut akan terus melancarkan gelombang serangan dengan menggabungkan rudal balistik dan rudal jelajah dalam beberapa pekan ke depan. Situasi ini dinilai belum akan mereda dalam waktu dekat. Ketegangan antara dua kekuatan utama di Timur Tengah tersebut bukan hanya memengaruhi kestabilan militer kawasan, tetapi juga mengancam fondasi ekonomi global yang sudah rapuh. Para analis memperingatkan bahwa konflik yang berkepanjangan dapat menambah ketidakpastian pasar, mendorong inflasi global, hingga menciptakan krisis pasokan energi.
Harga Minyak Mentah Melonjak
Salah satu dampak paling langsung dari konflik ini adalah melonjaknya harga minyak mentah dunia. Dikutip dari Aljazeera, pada 13 Juni 2025 pukul 16.00 waktu New York (20.00 GMT), harga minyak Brent yang menjadi standar acuan internasional naik 5 persen dibandingkan penutupan pasar sebelumnya. Bahkan, kontrak berjangka minyak sempat melonjak lebih dari 13 persen, mencapai level tertinggi sejak Januari. Harga minyak mentah jenis WTI juga naik lebih dari 6 persen dan diperdagangkan di atas US$ 73 per barel.
Lonjakan ini mencerminkan kekhawatiran pasar akan terganggunya pasokan minyak dari wilayah Teluk Persia. Selat Hormuz, selat strategis yang memisahkan Iran dan Oman merupakan jalur utama pengiriman minyak dunia, di mana sekitar 20 persen dari total pasokan minyak global melewati selat ini setiap hari. Jika Selat Hormuz sampai ditutup akibat konflik, distribusi minyak dunia akan sangat terganggu dan berpotensi memicu krisis energi. “Jika situasi meningkat hingga penutupan Selat Hormuz, itu akan menjadi krisis minyak terbesar sepanjang sejarah,” ujar Matt Gertken, Kepala Strategis Geopolitik dan Wakil Presiden Senior di BCA Research.
Badan Energi Internasional (IEA) menyatakan siap untuk melepas cadangan minyak darurat yang mencapai 1,2 miliar barel jika krisis memburuk. Namun langkah tersebut juga menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya kelangkaan pasokan jangka panjang. Sekretaris Jenderal OPEC, Haitham al-Ghais, mengkritik sikap IEA yang dinilai menimbulkan “alarm palsu” dan ketakutan yang tidak perlu di pasar global.
Meskipun Selat Hormuz saat ini masih terbuka, pengawasan dan kewaspadaan di jalur tersebut meningkat tajam.
Pasar Saham Amerika dan Global Tertekan
Ketegangan geopolitik juga segera tercermin pada kinerja pasar modal dunia, terutama di Amerika Serikat. Dikutip dari The Economic Times, pada Jumat 13 Juni 2025, pasar saham AS dibuka dengan penurunan tajam dan tetap berada di zona merah sepanjang sesi perdagangan.
- Dow Jones Industrial Average turun lebih dari 500 poin atau sekitar 1,3 persen.
- S&P 500 melemah hampir 1 persen.
- Nasdaq-100 turun sekitar 1,1 persen, dipimpin oleh penurunan saham-saham teknologi seperti Nvidia dan Tesla.
Sebaliknya, saham-saham di sektor energi dan pertahanan mengalami kenaikan. Perusahaan seperti ExxonMobil, Chevron, dan BP menguat seiring naiknya harga minyak. Demikian pula kontraktor pertahanan seperti Lockheed Martin dan Northrop Grumman yang mendapat sentimen positif dari meningkatnya ketegangan militer.
Namun, saham sektor perjalanan dan rekreasi mengalami tekanan cukup berat. Maskapai penerbangan seperti Delta dan United Airlines serta perusahaan pelayaran seperti Carnival mengalami koreksi antara 4-5 persen. Kecemasan terhadap lonjakan harga bahan bakar serta penurunan permintaan perjalanan akibat ketidakpastian global menjadi faktor utama penurunan tersebut.
Investor juga mulai mengalihkan dana ke aset yang dianggap lebih aman. Harga emas naik sekitar 1,5 persen sebagai respons terhadap situasi tersebut. Sementara itu, imbal hasil obligasi pemerintah AS bertenor 10 tahun bergerak fluktuatif di kisaran 4,36-4,41 persen. Indeks Volatilitas VIX, yang sering disebut sebagai “pengukur rasa takut Wall Street”, melonjak lebih dari 13 persen ke level 20,4.
Risiko Stagflasi Membayangi
Kombinasi lonjakan harga energi dan ketidakpastian ekonomi memunculkan kekhawatiran terhadap kemungkinan terjadinya stagflasi, yaitu kondisi di mana inflasi tinggi terjadi bersamaan dengan pertumbuhan ekonomi yang melambat.
Beberapa analis menyebutkan bahwa jika harga minyak terus naik dan mencapai di atas US$ 100 per barel, dunia berisiko mengalami tekanan ekonomi yang jauh lebih besar. Inflasi yang membubung tinggi akan meningkatkan beban biaya hidup masyarakat, memperlemah daya beli, dan memperlambat pemulihan ekonomi global pasca pandemi dan konflik Ukraina-Rusia.