Mengapa 4 Pulau di Aceh Singkil Sekarang Tergabung dalam Wilayah Sumatera Utara? Ini Dia Penjelasannya

Bikin kaget, empat pulau yang sebelumnya berada di wilayah Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh, tiba-tiba menjadi bagian dari Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Empat pula itu adalah Pulau Mangkir Besar, Pulau Mangkir Kecil, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang.

JeteOfficialShop

Beginilah duduk perkara perkara polemik empat pulau yang awalnya berada di wilayah Aceh berubah jadi masuk wilayah Sumatera Utara setelah keputusan Kementerian Dalam Negeri.

majalahkoran.com – Bikin kaget, empat pulau yang sebelumnya berada di wilayah Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh, tiba-tiba menjadi bagian dari Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Empat pula itu adalah Pulau Mangkir Besar, Pulau Mangkir Kecil, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang.

WankeiOfficial

Mengutip Kompas.com, perubahan status administrasi itu termaktub dalam Keputusan Menteri Dalam negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau bertanggal 25 April 2025.


Polemiknya sudah terjadi sejak 2008

Pertanyaannya kemudian, bagaimana empat pulau itu menjadi bagian dari Sumatera Utara? Apakah ujuk-ujuk terjadi? Bagaimana sengketanya?

Sebenarnya, perubahan status itu sudah terjadi sebelum Muzakir Manaf dan Fadhlullah menjabat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh, meskipun ramainya baru belakangan. Menurut Pemerintah Aceh, empat pulau tersebut masih wilayah mereka. Sementara Pemerintah Sumut mengacu pada keputusan pusat.

Menurut Kepala Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah Setda Aceh, Syakir, Pemerintah Aceh tetap berkomitmen untuk memperjuangkan peninjauan ulang keputusan tersebut. Tujuannya ya supaya empat pulau itu kembali ke pangkauan Aceh.

Dia bilang, ketika proses verifikasi dilakukan, Pemerintah Aceh bersama tim dari Kementerian Dalam Negeri telah turun langsung ke lokasi untuk melakukan peninjauan keempat pulau tersebut. Dalam verifikasi itu, Pemerintah Aceh menunjukkan berbagai bukti otentik, termasuk infrastruktur fisik, dokumen kepemilikan, serta foto-foto pendukung.

Tak hanya itu, proses verifikasi juga melibatkan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, Pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah, dan Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil. Di Pulau Panjang, misalnya, Pemerintah Aceh memperlihatkan sejumlah infrastruktur yang dibangun oleh Pemerintah Aceh dan Pemkab Aceh Singkil. Seperti tugu selamat datang, tugu koordinat dibangun oleh Dinas Cipta Karya dan Bina Marga pada 2012, rumah singgah dan mushala (2012), serta dermaga dibangun pada tahun 2015.

“Dokumen-dokumen pendukung juga telah kami serahkan, baik dari Pemerintah Aceh maupun dari Pemkab Aceh Singkil. Di antaranya terdapat peta kesepakatan antara Gubernur Aceh dan Gubernur Sumatera Utara yang disaksikan oleh Mendagri pada 1992,” tuturnya.

Peta tersebut menunjukkan garis batas laut yang mengindikasikan bahwa keempat pulau tersebut masuk dalam wilayah Aceh. “Sebenarnya, dengan adanya kesepakatan kedua gubernur yang disaksikan oleh Mendagri pada 1992, secara substansi sudah jelas bahwa keempat pulau tersebut adalah bagian dari Aceh,” ungkap Syakir.

Syakir juga menyertakan bukti lain, termasuk dokumen administrasi kepemilikan dermaga, surat kepemilikan tanah tahun 1965, serta dokumen pendukung lainnya. Di Pulau Mangkir Ketek, tim juga menemukan sebuah prasasti bertuliskan bahwa pulau tersebut merupakan bagian dari Aceh.

Prasasti ini dibangun pada Agustus 2018, mendampingi tugu sebelumnya yang dibangun oleh Pemkab Aceh Singkil pada tahun 2008 dengan tulisan “Selamat Datang di Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.”

Pada 2022 lalu, Kemenko Polhukam juga telah memfasilitasi rapat koordinasi lintas kementerian/lembaga yang pada umumnya peserta rapat menyampaikan bahwa berdasarkan dokumen dan hasil survei, keempat pulau tersebut masuk dalam cakupan wilayah Aceh. Hal ini dibuktikan melalui aspek hukum, administrasi, pemetaan, pengelolaan pulau, serta layanan publik yang telah dibangun oleh Pemerintah Aceh dan Pemkab Aceh Singkil.

Terkait polemik empat pulau itu, anggota Komite I DPD RI asal Aceh, H. Sudirman atau yang biasa disapa Haji Uma sejak 2017 lalu telah menyurati Kemendagri untuk menyampaikan aspirasi dan fakta historis serta administratif bahwa pulau-pulau tersebut merupakan bagian dari Aceh. Tapi menurutnya, tidak ada tindak lanjut dari pemerintah.

“Bahkan, saat Aceh diminta membawa data pendukung, itu pun tidak diindahkan dan akhirnya tetap menetapkan pulau tersebut masuk wilayah Sumut,” ucapnya.

Dia bilang, keputusan Mendagri sangat mencederai fakta sejarah dan data faktual di lapangan. Dia mengungkapkan, sejak 17 Juni 1965, keempat pulau tersebut sudah berada dalam wilayah Aceh dan dihuni oleh masyarakat Aceh. Bahkan, beberapa warga yang pernah tinggal di sana kini menetap di Bakongan, Aceh Selatan.

“Secara historis dan faktual, itu wilayah Aceh. Pemerintah Aceh juga sudah mengucurkan anggaran untuk membangun tugu dan rumah singgah nelayan di sana pada tahun 2012. Kok bisa tiba-tiba diambil alih begitu saja,” katanya.

Sementara itu, Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution bersama Bupati Tapanuli Tengah, Masinton Pasaribu, berkunjung ke Aceh menemui Gubernur Muzakir Manaf untuk membahas status kepemilikan empat pulau tersebut. Pertemuan antar-kepala daerah itu berlangsung pada Rabu, 4 Juni 2025, di Pendopo Gubernur Aceh.

Pertemuan itu tidak berlangsung lama. Menurut Kompas.com, Muzakir Manaf lebih dulu meninggalkan lokasi karena ada agenda pertemuan dengan masyarakat. Sementara Bobby dan rombongan melanjutkan pertemuan dengan Kepala Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah Setda Aceh, Syakir, beserta beberapa unsur pejabat lainnya.

Menantu mantan presiden Joko Widodo itu bilang, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Sumut) tidak pernah mengusulkan keempat pulau itu masuk ke wilayahnya. Semua itu merupakan keputusan Kemendagri atau pemerintah pusat.

Bobby menambahkan bahwa semua mekanisme terkait status keempat pulau tersebut ada di Kemendagri. Sama sekali tidak ada intervensi dari Pemerintah Sumut. “Ini kan mekanismenya bukan serta-merta kalau kami bilang kami kembalikan, bisa kembali pulaunya, bukan seperti itu juga. Yang hari ini kami pikirkan bagaimana potensi yang ada di dalamnya bisa dikelola sama-sama,” katanya.

Selain itu, Bobby juga mengatakan bahwa tak menutup kemungkinan akan terjadinya kolaborasi antar dua wilayah terkait potensi yang ada di keempat pulau tersebut. Bobby juga tak menutup kemungkinan untuk mengembalikannya ke Aceh jika ke depannya ada pembahasan lanjutan terkait permasalahan empat pulau ini.

Sebagai informasi, empat pulau yang menjadi polemik di atas adalah pulau yang tidak berpenghuni. “Karena ini statusnya dalam Permendagri sebagai pulau kosong, tidak berpenghuni, tak berpenduduk namanya,” ujar Direktur Jenderal Bina Administrasi Wilayah, Safrizal Zakaria Ali.

Pihaknya sendiri sudah melalukan survei lokasi pada Juni 2022 lalu. Pulau Panjang yang punya luas 47,8 hektar, contohnya, tidak memiliki penduduk yang bermukim di pulau tersebut. Meski begitu, ada dermaga yang dibangun pada 2015 dan tugu batas wilayah oleh Pemerintah Provinsi Aceh pada 2007. Di situ juga ada rumah singgah dan musala yang dibangun sekitar 2012 oleh Pemda Aceh Singkil, juga makan seorang aulia.

Pulau Lipan lebih naas lagi nasibnya. Pulau ini hampir bisa dikatakan hilang karena kenaikan muka air laut. Temuan Kemendagri menyebut luasnya hanya 0,38 hektar berupa daratan pasir dan tidak berpenghuni.

“Dari hasil pemantauan tim di Pulau Lipan ditemukan data dan fakta bahwa Pulau Lipan berupa daratan pasir, dan saat pasang tertinggi pukul 9.25 WIB, pulau dalam kondisi tenggelam,” kata Safrizal.

Safrizal juga bilang bahwa sengketa empat pulau itu sudah terjadi sejak 2008, bermula dari verifikasi data Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi yang disusun oleh Kemendagri, Kementerian Kelautan, Bakosurtanal, pakar toponimi, dan Pemerintah Aceh tahun itu. Ketika itu Provinsi Aceh telah memverifikasi dan membakukan 260 pulau. Namun, tidak terdapat empat pulau, yaitu Mangkir Gadang (Besar), Mangkir Ketek (Kecil), Pulau Lipan, dan Pulau Panjang.

Pada November 2009, Gubernur Aceh menyampaikan surat konfirmasi untuk 260 pulau dengan perubahan nama Pulau Rangit Besar menjadi Mangkir Besar, Rangit Kecil menjadi Mangkir Kecil, Pulau Malelo menjadi Pulau Lipan, dan Pulau Panjang tetap dengan nama yang sama dengan masing-masing koordinatnya.

Tapi setelah Kemendagri melakukan konfirmasi koordinat, keempat pulau yang diusulkan dengan titik koordinat masing-masing tidak menunjukkan posisi yang dimaksud. Koordinat yang berada dalam surat Gubernur Aceh berada di wilayah Kecamatan Pulau Banyak, bukan di wilayah Kecamatan Singkil Utara.

Kemendagri melihat ada kejanggalan nama pulau dengan titik koordinat yang berbeda karena empat pulau yang dimaksud berjarak 78 kilometer dari titik koordinat yang diberikan Aceh. Kemendagri kemudian melakukan rapat pembahasan untuk melakukan analisis spasial terhadap empat pulau yang menjadi konflik dan hasilnya pada 8 November 2017, Dirjen Bina Adwil Nomor 125/8177/BAK menegaskan bahwa empat pulau tersebut masuk dalam cakupan Provinsi Sumatera Utara.

Aceh kemudian kembali mengeluarkan surat untuk merevisi koordinat empat pulau tersebut yang semula titiknya berada di Pulau Banyak berpindah ke Singkil Utara. Dalam surat itu juga dijelaskan bahwa koordinat yang semula dicantumkan adalah milik Pulau Rangit Besar, Rangit Kecil, Malelo, dan Panjang yang berada di Pulau Banyak.

Namun, setelah rapat bersama Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Kemenkomarves), KKP, dan berbagai lembaga/kementerian pada 2020, disepakati bahwa empat pulau itu masuk wilayah Provinsi Sumatera Utara.

Pada 13 Februari 2022, kembali dibahas empat pulau tersebut bersama dengan Pemda Aceh dan Pemda Sumut, tetapi tidak terjadi kesepakatan. Karena itu, pada 14 Februari 2022, Kemendagri menerbitkan Keputusan Nomor 050-145 tentang pemutakhiran kode, data wilayah administrasi yang memasukkan empat pulau tersebut ke dalam wilayah Sumut.


Menteri Dalam Negeri pun angkat bicara

Terkait empat pulau yang kini jadi bagian Sumatera Utara, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menjelaskan alasan empat pulau di Kabupaten Aceh Singkil ditetapkan masuk menjadi bagian dari Sumatera Utara. Dia bilang, penetapan ini sudah melalui proses panjang serta melibatkan banyak instansi terkait.

Setidaknya ada delapan instansi tingkat pusat yang dilibatkan, menurut Tito. “Selain Pemprov Aceh, Sumut, dan kabupaten-kabupatennya. Ada juga Badan Informasi Geospasial, Pus Hidros TNI AL untuk laut, dan Topografi TNI AD untuk darat,” ujar Tito, Selasa (10/6).

Menurut Tito, batas wilayah darat antara Aceh Singkil dan Tapanuli Tengah sudah disepakati oleh kedua belah pihak. Sementara itu, batas laut dua wilayah itu belum mencapai kesepakatan. Karena itulah, kata Tito, penentuan perbatasan wilayah laut ini diserahkan ke pemerintah pusat.

Namun, penentuan batas laut ini tidak pernah sepakat sehingga membuat sengketa terkait empat pulau terus bergulir. “Nah tidak terjadi kesepakatan, aturannya diserahkan kepada pemerintah nasional, pemerintah pusat di tingkat atas,” kata Tito.

Menurut Tito, pemerintah pusat memutuskan bahwa empat pulau ini masuk ke wilayah administrasi Sumatera Utara berdasarkan tarikan batas wilayah darat. “Nah, dari rapat tingkat pusat itu, melihat letak geografisnya, itu ada di wilayah Sumatera Utara, berdasarkan batas darat yang sudah disepakati oleh empat pemda, Aceh maupun Sumatera Utara,” tuturnya.

Di luar itu, Tito Karnavian juga mengatakan bahwa pemerintah pusat terbuka terhadap evaluasi atas keputusan yang ada. Bahkan, kata dia, pemerintah terbuka jika ada gugatan hukum ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) soal penetapan empat pulau terkait.

“Kami terbuka juga untuk mendapatkan evaluasi, atau mungkin, kalau ada yang mau digugat secara hukum, ke PTUN misalnya, kami juga tidak keberatan. Kami juga tidak ada kepentingan personal, selain menyelesaikan batas wilayah,” ucapnya.

JeteOfficialShop

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *