Mengambil Pelajaran dari Konflik Timur Tengah

Konflik ini bukan hanya menyangkut dua negara, melainkan menyeret keterlibatan kekuatan global negara lain, memicu destabilisasi kawasan, dan memamerkan penggunaan sistem senjata berteknologi tinggi yang bisa mengubah wajah peperangan modern.

JeteOfficialShop

Oleh : Iman Ahmadi SPd *)

Saat ini langit timur tengah sedang bergemuruh rudal-rudal balistik yang mewarnai cakrawala malam, dunia dibuat resah dan gelisah.

WankeiOfficial

Konflik bersenjata yang berkepanjangan selama bertahun-tahun telah berlangsung berupa perang bayangan, operasi siber, dan sabotase intelijen, kini meledak secara terbuka antara dua kekuatan regional yaitu Negara Iran dan Israel. Konflik ini bukan hanya menyangkut dua negara, melainkan menyeret keterlibatan kekuatan global negara lain, memicu destabilisasi kawasan, dan memamerkan penggunaan sistem senjata berteknologi tinggi yang bisa mengubah wajah peperangan modern.

Di tengah konflik ini, Indonesia saat ini dihadapkan pada ujian moral arah politik luar negeri. Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, simpati terhadap Palestina dan penolakan atas agresi Israel telah menjadi bagian dari sikap politik luar negeri yang konsisten selama ini. Ketika konfrontasi terjadi secara terbuka antara Iran dan Israel, posisi Indonesia menjadi lebih kompleks.

Di satu sisi, Indonesia ingin tetap menjaga citra sebagai bangsa penjaga perdamaian dunia. Di sisi lain, realitas kondisi domestik dan ketidak jelasan arah politik luar negeri justru membuat suara Indonesia terdengar semakin sayup-sayup di forum dunia internasional.

Kenyataannya, dunia internasional saat ini semakin sulit menaruh harapan kepada Indonesia untuk berperan signifikan dalam isu keamanan global.

Bukan karena Indonesia kekurangan sejarah diplomasi, tetapi karena konsistensi antara prinsip dan tindakan yang kini mulai dipertanyakan.

Diplomasi kita kerap terasa normatif, datar, dan kehilangan daya dorong. Pernyataan resmi sebatas mengimbau semua pihak untuk menahan diri, namun jarang diikuti dengan langkah nyata untuk memfasilitasi dialog misalnya membangun kepercayaan, atau menawarkan beberapa solusi.

Bahkan, Indonesia seperti kehilangan kompas dalam dinamika global yang menuntut ketegasan dan kejelasan posisi di tengah dinamika global yang semakin membara.

Pada sisi lainnya, kondisi dalam negeri pun belum cukup kuat untuk menopang peran strategis itu.

Persoalan korupsi, ketimpangan sosial, birokrasi yang lamban, dan elite politik yang lebih sibuk dengan manuver kekuasaan daripada visi global, membuat posisi Indonesia tampak nyata semakin rapuh.

Mana mungkin kita bicara soal perdamaian dunia, jika suasana bangsa kita sendiri penuh dengan kekacauan dan kegaduhan mana mungkin kita menyerukan hukum internasional, jika di dalam negeri sendiri penegakan hukum masih tebang pilih.

Konflik Iran dan Israel seharusnya menjadi cerminan. Saat negara lain terlibat dalam peperangan udara, meluncurkan rudal jarak jauh dan mengaktifkan sistem pertahanan multilapis seperti Iron Dome atau Arrow 3, kita di Indonesia seharusnya bertanya pada diri sendiri apakah sistem pertahanan kita sudah cukup siap menghadapi dinamika serupa jika terjadi di wilayah kita.

Apakah sistem radar kita sudah dibangun terintegrasi? Apakah jalur logistik udara kita aman dari ancaman sabotase atau serangan siber? Apakah Wilayah Udara sudah sepenuhnya berada dalam kewenangan penuh pengendalian sistem hanud kita sendiri?

Konflik ini seharusnya menyadarkan kita bahwa dalam dunia yang saling terhubung, perang yang terjadi ribuan kilometer jauhnya bisa berdampak langsung pada kita, baik dalam bentuk kenaikan harga sembako , gas, gangguan penerbangan sipil, maupun tekanan diplomatik.

Maka penting bagi Indonesia untuk tidak hanya menjadi penonton, tetapi juga pembelajar.

Kita harus mulai sadar diri, menyadari keterbatasan kita, dan mulai membenahi kelemahan kelemahan fundamental dalam tata kelola pertahanan, diplomasi, dan ketahanan pangan nasional secara absolut.

Karena sesungguhnya, bangsa yang besar bukanlah bangsa yang paling kuat senjatanya, tapi bangsa yang mau belajar dari setiap konflik, bangsa yang berani melihat ke dalam, memperbaiki diri, dan mempersiapkan masa depan generasi yang lebih cerdas.

Jangan sampai kita baru sadar pentingnya kedaulatan negara ketika sudah terlambat.

Jangan sampai kita baru merindukan sistem pertahanan yang kokoh ketika negara tetangga sudah membangun jaringan radar hingga ke langit kita sendiri.

Indonesia perlu menyatukan kembali langkah, menyelaraskan prinsip luar negeri yang bebas aktif dengan langkah nyata yang proaktif. Sehingga dunia tidak akan menunggu kita siap. Dunia akan terus bergerak, dan yang lambat otomatis akan tertinggal.

*) Penulis adalah Alumni Ikatan Mahasiswa Gayo (Imaga) Medan Sumatera Utara, Pemerhati Sosial Adat Budaya Aceh Tengah.

JeteOfficialShop

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *